Minggu, 04 Maret 2012

Mengapa Harus Hidup Bermasyarakat

Sejarah kehidupan manusia selalu diwarnai dengan keberkelompokan dan kebersamaan. Muncul empat teori dalam menganalisa alasan kehidupan sosial manusia tersebut:

 (1) teori sumber ekternal dan lingkungan hidup sosial
 (2) teori sumber insting kehidupan sosial,
(3) teori sumber rasional hidup sosial, dan
 (4) teori sumber emosional dan hati dalam kehidupan sosial. Terori pertama adalah ekternal, adapun yang lain, internal. Berdasarkan dua terori pertama, kehidupan sosial tidak sejati dan juga tidak bertujuan manusiawi, sedangkan dua teori berikutnya memandang kehidupan sosial untuk mencapai tujuan-tujuan manusiawi yang tinggi.
Tiga dari empat teori di atas—kurang lebihnya—berakar juga pada pemikiran sosial muslimin dan bisa dimengerti dari kata-kata mereka. Bagian terluas dari interpretasi sosial muslimin dipenuhi oleh argumentasi-argumentasi yang sering menitikberatkan ruang keseragaman manusia dan binatang, seperti insting, birahi, dan tuntutan primitif lainnya. Namun, akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan muslim memperhatikan sisi-sisi spesial manusia, seperti pengetahuan dan kecenderungan fitrah, sebagai sumber terciptanya kehidupan sosial.
Teori Ibn Khaldun yang terfokus pada kebutuhan primer fisik manusia begitu pula teori Allamah Thabathabai yang meyakini jiwa memperbantukan yang lain sebagai asas natural manusia, keduanya bertemu dalam titik, bahwa “cinta diri sendiri” adalah satu-satunya pokok terutama dalam diri manusia; artinya seseorang bergabung dengan yang lain karena dia mencintai dirinya dan ingin terus kekal. Dia menutup mata dari sebagian kecil keuntungan dan jerih payahnya demi meraup hasil dan bantuan orang lain yang jauh lebih besar. Maka dari itu, cinta diri sendiri merupakan faktor memperbantukan yang lain dan alasan kenapa seseorang rela menutup mata dari sebagian keuntungannya, tidak lain untuk menciptakan kehidupan gotong royong dan meraih keuntungan yang lebih besar. Menurut logika di atas, kecenderungan asli setiap orang adalah meraih keuntungan dari jerih payah orang lain. Adapun keberpalingannya dari sebagian keuntungan miliknya bukan kehendaknya yang sebenarnya, melainkan dia terpaksa melakukannya dengan kecenderungan di atas.
Pertanyaannya adalah apa penjelasan logika ini tentang rindu dan pengorbanan tanpa balas yang dilakukan manusia? Pengalaman hidup sehari-hari kita menyaksikan beberapa fakta kerinduan manusia terhadap manusia yang lain dan merelakan apa yang dia miliki tanpa balas. Apakah tindakan seperti ini terbilang natural? Kalau iya, bagaimana cinta orang lain bisa bertemu dengan cinta diri sendiri? Kita menyaksikan keakraban, ketulusan, pengorbanan tanpa balas dan perasaan dalam kehidupan sosial manusia, semua itu sama sekali tidak berbau pragmatis, cinta posisi, dan egoisme. Karena itu, apa bijak apabila kita tidak menerimanya minimal seperingkat dalam kesejatian, hakikat, dan naturalitas dengan tindakan bisnis, pragmatis dan serakah manusia?! Dengan demikian, apakah masih bisa diyakini bahwa cinta diri sendiri, kecenderungan memperbantukan yang lain, dan pemuasan faktor-faktor fisiologik sebagai satu-satunya motif dan keinginan natural utama manusia? Syahid Muthahari berpandangan, pokok memperbantukan yang lain adalah bentuk terhormat dari konflik kekekalan seperti teori evolusi Darwinisme sosial masa kini.[1]
Syahid Mutahari berpendapat kehidupan sosial disebabkan oleh emosi (perasaan) dan kecenderungan diri manusia kepada perkumpulan bersama manusia yang lain. Oleh karena itu, manusia yang hidup sosial adalah orang yang normal. Adapun orang yang terputus dan terasing dari masyarakat adalah tidak normal. Sekilas teori ini falsafah yang tinggi dalam menjelaskan kesejatian cinta orang lain dan cinta diri sendiri. Akan tetapi, kritikan yang menghantam teori ini terarah pada obyektifitas yang diberikan pada perkumpulan dan kehidupan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, hidup bersama orang lain—siapapun dia, musyrik atau mukmin, salih atau perusak, berbudi pekerti atau tak bermoral—merupakan tujuan natural dan terutama dari gerakan manusia, dan teori semacam ini sekaligus juga konsekwensinya tidak didukung oleh teks-teks agama; karena, berdasarkan filsafat ini, manusia yang telah bergabung dengan masyarakat (walaupun masyarakat itu jahat dan menyimpang), dia telah bertindak sesuai dengan tuntutan normal dirinya dan dia telah sampai pada kesempurnaan internal dirinya. Dari sisi ini, dia tidak kekurangan sehingga tidak diperlukan lagi untuk menyempurnakan dirinya dengan bergabung pada masyarakat lain. Padahal menurut tuntunan agama harus berpisah dan memutus hubungan dari masyarakat jahiliah dan bergabung dengan masyarakat yang lain. Pada dasarnya, pokok hijrah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan hadis Nabi saw untuk mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak bisa sampai pada hakikat kemanusiaan dan meraih kesempurnaan dirinya di segala bentuk kehidupan sosial dan masyarakat. Setiap orang yang menghendaki fitrah dan hakikat yang selamat dan sempurna, maka dia harus keluar dari masyarakat yang diselimuti kezaliman, kekejian, kerusakan, kesyirikan, dan penuhanan manusia. Berhijrah dan bergabung dengan masyarakat yang lain, terlepas dari komunitas musyrik dan bergabung dengan komunitas bertauhid; berpisah dari masyarakat tagut dan bersatu dengan masyarakat yang bebas, menjauh dari kalangan borjuis, berpihak pada kalangan terhormat dan bertaqwa. Dengan itu jelas sudah bahwa hakikat dan kesempurnaan seseorang tidak bisa diperoleh dengan segala bentuk kehidupan sosial.
Agama tidak mengajarkan hidup bersama orang lain siapapun dia dan bergabung dengan kelompok tertentu kemanapun arah mereka. Berbeda dengan interpretasi Syahid Mutahari dari kehidupan madani yang tidak mampu menjustifikasi filsafat hijrah, karena dengan alasan apa seseorang harus meninggalkan komunitas tertentu dan bergabung dengan komunitas yang lain? Apakah untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan awalnya? [Tentu tidak]! Hal itu sudah diperoleh sebelumnya bersama komunitas pertama, karena itu tujuan natural dan primer manusia dalam hidup bermasyarakat—sebagaimana Syahid Mutahari menyimpulkannya dari ayat-ayat Al-Qur’an—tidak harus berarti dia tergiring oleh keterpaksaan dan perasaan yang murni manusiawi ke arah orang selain dirinya, melainkan kekuatan nalar atau rasio dan kemampuan identifikasi serta eksperimen yang telah ia selidiki dapat mengantarkan manusia untuk hidup bersama yang lain.

Ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai pedagang yang senantiasa bernegosiasi dan mencari keuntungan; makhluk yang selalu dalam kondisi niaga dan bisnis. Oleh karena itu, terkadang dia untung dan terkadang juga rugi.

Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan imbalan surga, mereka berperang di jalan Allah maka mereka membunuh dan terbunuh. (Hal ini) sebagai janji Allah yang sungguh (haq) di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an, dan barangsiapa setia terhadap janjinya kepada Allah, maka berita-berita buat kalian atas perniagaan yang kalian lakukan, dan itu adalah kemenangan yang agung.


        "Sadarlah bahwa hari ini adalah persiapan dan esok adalah perlombaan.”






Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
     
Teori-teori yang argumentasinya berporos pada jaminan kebutuhan primer dan dorongan manusia sama dan searah dengan teori memperbantukan orang lain dari sisi kesejatian yang diberikan pada cinta dan pengabdian pada diri sendiri, semua teori ini tidak dapat menjelaskan nilai-nila kemanusian dan sosial yang sangat tinggi seperti rindu atau kasih sayang, pengorbanan pada orang lain tanpa balas, cinta keadilan, dan lain sebagainya.
Adapun teori Syahid Mutahari juga tidak sejalan dengan teks agama dan berlawanan dengan filsafat hijrah, karena kendati pun teori ini tampil lebih manusiawi dibanding teori-teori sebelumnya, namun teori ini meletakkan kesejatian pada sosial quo sosial (perkumpulan dalam kapasitasnya sebagai perkumpulan dan tidak lebih dari itu) dan kecenderungan kepada yang lain quo kecenderungan kepada yang lain.
Pada hakikatnya, ayat Al-Qur’an dan kalimat Nahjul Balaghah secara eksplisit menyatakan manusia adalah pedagang dan kehidupan sosialnya merupakan pasar perniagaan, dan pada situasi yang membahayakan, merugikan dan pasti kalah, maka agama seragam dengan rasio pencari penghitung dan pencari untung mengharuskan dia untuk bersaing di market yang berbeda.
                                   
                                                                                          TARO ADA TARO GAU/luwu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar