Sabtu, 03 Maret 2012

Tokoh-tokoh Sosiologi n Short Story

August Comte
      August Comte atau juga Auguste Comte (nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte), lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 dan meninggal di kota Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Dia  adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi”. Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Comte lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di Politeknik École di Paris. Politeknik École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan” (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (1851 – 1854).
Dia wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.
Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”).
Fase Teologi dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan justifikasi dari “hak universal” sebagai hal yang pada [atas] suatu wahana [yang] lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala [penguasa/penggaris] manusia untuk membatalkan perintah lalu, walaupun berkata [hak/ kebenaran] tidaklah disesuaikan kepada yang suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia umumkan dengan istilah  tahap yang ilmiah, yang menjadi nyata setelah kegagalan revolusi dan [tentang] Napoleon, orang-orang bisa temukan solusi ke permasalahan sosial dan membawa [mereka/nya] ke dalam kekuatan di samping proklamasi hak azasi manusia atau nubuatan kehendak Tuhan. Mengenai ini ia adalah serupa untuk Karl Marx dan Jeremy Bentham. Karena waktunya, ini gagasan untuk suatu Tahap ilmiah telah dipertimbangkan terbaru, walaupun dari suatu sudut pandang kemudiannya [itu] adalah [yang] terlalu derivative untuk ilmu fisika klasik dan sejarah akademis.
Hukum universal lain [yang] ia [memanggil/hubungi] ‘ hukum yang seperti ensiklopedi’. Dengan kombinasi hukum ini, Comte mengembang;kan suatu penggolongan [yang] hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur         ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik              ( biologi dan untuk pertama kali, bentuk badan sociale, dinamai kembali kemudiannya sociologie).
Ini gagasan untuk suatu science—not khusus ras manusia, [yang] bukan metaphysics—for sosial adalah terkemuka abad yang ke 19 dan tidak unik ke Comte. Ambitious—Many akan kata[kan grandiose—way yang Comte membayangkan tentangnya, bagaimanapun, adalah unik.
Comte lihat ilmu pengetahuan baru ini, sosiologi, [seperti;sebagai;ketika] [yang] terbesar dan yang terakhir dari semua ilmu pengetahuan, apa yang  akan meliputi semua  ilmu pengetahuan, dan yang akan mengintegrasikan dan menghubungkan penemuan mereka ke dalam suatu [yang] utuh kompak.
Penjelasan filosofi Comte yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktek dan pemahaman manusia dunia. Pada  halaman 27, buku terjemahan Filosofi Auguste Comte yang Positif, kita lihat pengamatannya bahwa, “ Jika adalah benar bahwa tiap-tiap teori harus didasarkan pengamatan fakta, itu sama benar dengan yang fakta tidak bisa diamati tanpa bimbingan beberapa teori. Tanpa seperti  bimbingan, fakta [kita/kami] akan bersifat tanpa buah dan tak teratur; kita tidak bisa mempertahankan [mereka/nya]: sebagian terbesar kita tidak bisa genap merasa [mereka/nya]. ( Comte, A. ( 1974 cetak ulang).
Ia coined kata “altruism” untuk mengacu pada apa yang ia percaya untuk menjadi kewajiban moral individu untuk melayani (orang) yang lain dan menempatkan minat mereka di atas diri sendiri. Ia menentangkan gagasan itu untuk [hak/ kebenaran] individu, pemeliharaan yang mereka tidaklah konsisten dengan etis diharapkan ini (Catechisme Positiviste).
Seperti yang telah disebutkan, Comte merumuskan hukum tiga langkah-langkah, salah satu dari teori yang pertama adalah evolutionism yang sosial: pengembangan manusia  ( kemajuan sosial) maju dari Theological Langkah, di mana alam[i] secara dongengan dan dipahami/dikandung dan orang [laki-laki] mencari penjelasan (dari,tentang) gejala alami dari mahluk hal-hal yang gaib, melalui/sampai Metaphysical Langkah di mana alam[i] telah membayangkan sebagai hasil mengaburkan kekuatan dan orang [laki-laki] mencari penjelasan (dari,tentang) gejala alami dari [mereka/nya] sampai yang akhir, Positive Langkah di mana semua abstrak dan mengaburkan kekuatan dibuang, dan gejala alami diterangkan oleh hubungan tetap mereka. Kemajuan ini dipaksa melalui/sampai pengembangan pikiran manusia, dan meningkat(kan) aplikasi pikiran, pemikiran dan logika kepada pemahaman dunia.
Di (dalam) seumur hidup Comte, pekerjaannya kadang-kadang dipandang secara skeptis sebab ia telah mengangkat Paham positifisme untuk agama dan yang telah menamai dirinya sendiri Sri Paus Paham Positifisme. Ia coined istilah “sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan masyarakat yang baru.
Herbert Spencer
     Spencer lahir di Derby, Inggris pada tanggal 27 April 1820. Ia tak belajar seni dan humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang- bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik. Tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai redaktur The Economist dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini Spencer untuk pertama kali mulai mengalami insomnia (tak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnya masalah mental dan fisiknya ini terus meningkat. Ia menderita gangguan saraf sepanjang sisa hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mentalnya makin parah, produktivitasnya makin menurun. Akhirnya Spencer mulai mencapai kemasyhuran tak hanya di Inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan, “Selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (perkiraan) Spencer.” (1959:33).
Namun, nasib Spencer ternyata tak seperti itu. Salah satu watak Spencer paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosiologi awal Auguste Comte yang juga mengalami gangguan otak. Mengenai keengganannya membaca buku orang lain itu, Spencer berkata : “Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidupku, bukan menjadi pembaca, aku sependapat dengan yang dikatakan Hobbes bahwa jika aku membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku hanya akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wiltshire, 1978:67). Temannya pernah meminta pendapatnya buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (Wiltshire, 1978:67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya…ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978:67)
Bila tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu darimana gagasan dan pemahaman Spencer berasal. Menurut Spencer, ide-idenya muncul tanpa sengaja dan secara intiutif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja atau tanpa upaya yang keras” (Wiltshire, 1978:66). Institusi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berpikir dan belajar tekun : “Pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu mungkin lebih benar ketimbang yang dicapai pemikiran” (Wiltshire, 1978:66).
Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu dilakukannya hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya, berkata tentang Spencer, “Jika ia mati melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan risiko kehilangan sebagian dari kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seorang manusia yang sangat hebat” (Wiltshire, 1978:70) pengabaian Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum dibuktikan  kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiolog abad 20 menolak gagasan Spencer dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.
Tokoh yang satu ini mamang hampir saja membingungkan kita, antara mana teori Herbert Spencer dan mana teori Auguste Comte karena keduanya memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Salah satu pandangannya adalah mengenai hubungan negara dengan persoalan individual, menurutnya negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan individu kecuali dalam fungsi pasif untuk melindungi rakyatnya. Bahkan ia tidak tertarik terhadap bentuk reformasi sosial, ia menginginkan kehidupan sosial berkembang bebas dari kontrol eksternal.
Spencer pantas dibilang sebagai “Darwinis Sosial” mengacu pada pandangan-pandangan teori evolusinya. Ia mempercayai akan kehidupan maasyarakat yang akan tumbuh progresif menuju keadaan yang lebih baik, untuk itu masyarakat harus dibiarkan bekembang sendiri. masyarakat harus dilepas dari campur tangan eksternal yang diyakini justru memperburuk keadaan.
Spencer menyetujui akan adanya evolusi darwin dalam konteks sosial, yaitu apabila dibiarkan dengan sendirinya teori itu akan berlaku dimana individu yang layak bertahan hidup akan berkembang, sedangkan individu yang yang tidak layak maka ia akan tersingkir.
Letak perbedaan Spencer dengan Comte adalah, Spencer memusatkan perhatiannya pada individu, sedangkan Comte pada unit yang lebih luas, misalnya keluarga. Namun dibalik itu lebih banyak kesamaan diantara keduanya, keduanya memiliki orientasi dan interprestasi yang sama   dalam sosiologi. Disamping keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai sebuah organisme. Teori keduanya terinspirasi ilmu biologi mengenai sistem organisme yang saling berhubungan.
Perbedaan keduanya nampak jelas saat Spencer menolak gagasan Comte tentang tiga tingkatan cara berfikir karena comte dinilainya menjelaskan evolusi dalam dunia gagasan bukan dari kehidupan nyata.
Emille Durkheim
      Nama lengkapnya David Émile Durkheim (15 April 1858 – 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada tahun 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Année Sociologique pada 1896. Durkheim dilahirkan di Épinal, Perancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh, ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya. Banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Perancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Perancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Perancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Perancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar. Kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis, ia mengusahakan bentuk kehidupan Perancis yang sekular dan rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Perancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Perancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang, sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial“, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif : ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat ‘primitif’ (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama” (1912) dan esainya “Klasifikasi Primitif” yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat ‘mekanis’ (meminjam ungkapan Durkheim).
Karl Marx
           Karl Marx lahir pada tahun 1818 di kota Trier di Jerman sebagai anak seorang pengacara Yahudi yang telah menjadi Kristen Protestan. Setamat SMA pada tahun 1836, ia selama satu semester belajar ilmu hukum di kota Bonn dan selanjutnya pindah ke kota Berlin untuk belajar ilmu filsafat. Selama di Berlin ia menjadi anggota kelompok orang intelektual muda yang menamakan diri Klub Doktor. Kelompok ini sangat terpengaruh  dan mengagung-agungkan seorang pemikir aliran idealisme yaitu G.W.F. Hegel yang meninggal di Berlin pada tahun 1931.
Pada tahun 1841 Karl Marx mendapat promosi menjadi doktor filsafat di Universitas Jena dengan tesisnya yaitu filsafat Demokrit dan Epikur. Tahun berikutnya Karl Marx menduduki jabatan pemimpin redaksi di sebuah harian progresif di Köln. Jabatan ini tidak bertahan lama karena adanya sensor dari Prussia. Ia terpakasa meninggalkan Jerman dan tinggal di Paris. Pada pertengahan tahun 1843 ia menikahi seorang puteri bangsawan yang bernama Jenny von Westphalen. Di Paris Karl Marx suka bergaul dan berkenalan dengan beberapa tokoh sosialis, di antaranya dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang selama hidupnya menjadi sahabat karibnya. Di Paris inilah ia untuk pertama kalinya bertemu dengan kaum buruh yang sungguh-sungguh.
Selama di Paris Karl Marx menulis beberapa karangan penting yaitu “Tentang Masalah Yahudi”, “Pengantar Kepada Kritik Filsafat Hukum Hegel”, “Naskah-Naskah Paris tentang Filsafat dan Ekonomi Nasional” dan “Keluarga Suci”.
Pada tahun 1945 Karl Marx dan isterinya diusir oleh pemerintah Perancis. Mereka terpaksa pindah ke Brussel. Di Brussel mereka tinggal selama 2 tahun lebih dan selanjutnya pindah ke London. Pada tahun 1846 Karl Marx bersama Engels merumuskan pandangan materialis mereka tentang sejarah dalam sebuah karangan yang berjudul “Ideologi Jerman”. Pada permulaan tahun 1948 Karl Marx dan Engels menulis “Manifesto Komunis“ yang terkenal itu. Dua bulan  setelah “Manifesto Komunis” pecahlah di seluruh Eropa dengan apa yang dinamakan Revolusi ’48. Karl Marx memutuskan kembali ke Jerman dan mendirikan sebuah harian. Sayang, Revolusi ’48 itu gagal sehingga pada tahun 1849 Karl Marx terpaksa kembali lagi ke London dan menetap di sana untuk selamanya.
Di London pasca kegagalan Revolusi ’48, Karl Marx tidak memusatkan diri pada aksi-aksi praktis dan revolusioner. Ia kini memusatkan perhatiaannya pada hal-hal yang bersifat teoritis, khususnya pada ilmu ekonomi. Pada tahun 1857 Karl Mark mulai menulis sebuah buku yang ternyata baru bisa diterbitkan pada tahun 1938 dengan judul “Foundation of the Critique of Political Economy”. Buku setebal 1100 halaman ini berisi tentang masalah ekonomi dan perkembangan masyarakat. Pada tahun 1967 buku yang sangat terkenal dari Karl Marx yaitu “Das Kapital” jilid pertama terbit. “Das Kapital” jilid kedua dan ketiga baru diterbitkan oleh Engels setelah Karl Marx meninggal dunia.
Pada tahun 1864 partai-partai buruh nasional mendirikan Asosiasi Buruh Internasional.  Karl Marx masuk dalam anggota dewan. Di dalam asosiasi ini Karl Marx mengalami konflik dengan Mikail Bakunin dan akhirnya perselisihan itu menghacurkan eksistensi Asosiasi Buruh Internasional.
Hidup pribadi Karl Marx sebenarnya sangat memprihatinkan. Mereka menderita kekurangan dan kemlaratan. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa salah seorang anaknya mati karena kurang makan. Karl Marx tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tidak tahu mengurus uang. Hidup keluarganya banyak disokong oleh sahabat karibnya yaitu Engel yang memiliki pabrik di Menchester.
Karl Marx besar adalah seorang yang keras kepala dan otoriter. Rekan-rekannya yang tidak suka dengan teorinya diserang dengan kata-kata yang bahkan menjelekkan nama dan kepribadian mereka. Ia bermusuhan dengan banyak teman sekerjanya. Hanya Engels yang sepertinya memahami dan mau menerima kepribadian Karl Marx. Di banyak buku Engels disebut sebagai sahabat karib Karl Marx. Tahun-tahun terakhir kehidupan Karl Marx sangat memprihatinkan. Ia banyak mengalami kesendirian dan kesepian. Karl Marx meninggal dunia pada tahun 1883 hanya diiringi oleh delapan orang yang berdiri di pinggir makamnya.
Keprihatinan Karl Marx ialah manusia. Dalam beberapa naskah yang ditulisnya sekitar tahun 1932  ada indikasi bahwa Karl Marx muncul sebagai seorang pemikir humanis sejati. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya Karl Marx lebih condong pada hukum-hukum ekonomi dan sejarah, sejak tahun-tahun ini ia berkutat dengan konsepsi tentang manusia. Pada dasarnya manusia itu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Pandangan Karl Mark yang secara teori bagus ini pada kenyataan hidupnya berbeda. Keluarganya miskin dan sepertinya ia tidak mampu mengaplikasikan teorinya sendiri.
Manusia harus bekerja karena manusia harus memenuhi kebutuhannya. Hal demikian berbeda dengan binatang yang langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari alam. Manusia harus merubah alam dan dengannya manusia baru bisa hidup. Pekerjaanlah yang membedakan manusia dari binatang. Menurut Karl Marx, manusia itu makhluk ganda yang aneh. Di satu pihak ia makhluk alam seperti binatang dan dipihak lain ia harus berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing baginya. Manusia tidak tergantung dari lingkungan alam, tetapi bisa mengolah seluruh alam demi tujuannya yang macan-macam. Pekerjaan itu tanda khas yang melekat pada manusia. Pekerjaan itu tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal.
Sebagai makhluk yang bebas manusia tidak hanya melakukan apa yang langsung menjadi kecondongannya. Manusia menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan bebas. Manusia itu universal karena ia tidak terikat pada lingkungan yang terbatas. Manusia dapat mempergunakan seluruh alam demi tujuan-tujuannya. Seluruh alam dapat menjadi bahan pekerjaannya. Ia berhadapan dengan alam secara universal. Bagi Karl Marx, hanya manusia yang dapat berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Pekerjaan adalah tanda martabat manusia.
Pekerjaan itu bagi manusia lebih dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan. Di dalam pekerjaan manusia merealisasikan dirinya sendiri. Hasil ukiran dari seorang pengukir mencerminkan kecakapan, kemampuan dan hakekat pengukirnya. Di dalam pekerjaan manusia mengambil dari bentuknya yang alamiah dan memberikan bentuknya sendiri kepadanya. Manusia mengobyektivasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Produk pekerjaannya mencerminkan hakekatnya sendiri. Manusia kerasan di dalam alam karena dibenarkan hakekatnya. Dalam pelbagai pekerjaan manusia melahirkan bakat-bakatnya pada alam dan dengan demikian manusia merealisasikan dirinya sendiri.
Pada aspek lain, Karl Marx memandang bahwa pekerjaan merupakan tanda bahwa manusia itu mahkluk sosial. Manusia memerlukan orang lain. Pengakuan manusia lain dapat membuat seorang manusia bahagia. Pengakuan atas hasil kerja dari orang lain membuat seseorang menjadi bahagia dan merasa diakui. Pekerjaan adalah jembatan antara manusia yang selalu berinteraksi.
Karena pada dasarnya manusia itu mahkluk sosial, Karl Marx menolak baik individualisme maupun kolektivisme. Individualisme keliru karena manusia melalui bahasa dan pekerjaannya sudah sejak semula dibentuk dan dicetak masyarakat dan tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat. Kolektivisme juga keliru karena kolektivisme pada dasarnya memiliki implikasi menolak manusia dalam seluruh kekayaan hakekatnya yang konkret.
Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Marx tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach. Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.
Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya kekhususan barang yang telah dibeli tersebut. Barang tersebut lantas kehilangan nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.
Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya.
Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si pemilik pabrik menjualnya.
Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan. Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana ada tempat kerja dan dia sendiri tidak menguasai tempat-tempat kerja. Tempat itu dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya. Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah saja.
Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu, pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.
Karl Marx mengajukan dua syarat agar masyarakat berkelas dapat dihapus yaitu: Pertama, cara produksi harus telah berkembang sedemikian rupa sehingga pembagian pekerjaan tidak perlu lagi. Kedua, harus telah berkembang suatu kelas yang berkepentingan untuk tidak hanya menggulingkan kelas yang berkuasa melainkan untuk menghancurkan sistem masyarakat berkelas itu sendiri dan mendirikan suatu masyarakat yang tidak ada kelasnya lagi.
Karl Marx melihat bahwa ketegangan antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produktif terungkap dalam ketegangan antar kelas dalam masyarakat. Satu kenyataan  sosial yang tak terbantahkan yaitu bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berhadapan secara tak terdamaikan yaitu antara kelas atas dan kelas yang tertindas.
Pertentangan kelas atas dan kelas yang tertindas tak dapat didamaikan karena bersifat obyektif. Pertentangan ini ada karena secara nyata dan tak terhindarkan masing-masing kelas ambil bagian dalam proses produksi. Di dalam proses produksi masing-masing kelas menempati kedudukannya masing-masing. Kelas atas berkepentingan secara langsung untuk menghisap dan mengeksploitasi kelas yang tertindas karena ia telah membelinya. Kelas atas menindas dan menghisap kelas bawah karena kedudukan dan eksistensi mereka tergantung dari cara kerja yang demikian. Sementara itu kelas yang tertindas berkepentingan untuk membebaskan diri dari penindasan dan bahkan berkepentingan menghancurkan kelas atas.
Perbaikan kelas-kelas tertindas tidak dapat dicapai melalui kompromi. Perbaikan tidak dapat diharapkan pula dari perubahan sikap kelas-kelas atas. Bagi Karl Marx, hanya ada satu jalan saja yang paling terbuka yaitu perjuangan kelas. “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas,” demikian Karl Marx menegaskan dalam bukunya “Manifesto Komunis”. Sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan antara kelas-kelas. Karl Marx menolak pendapat bahwa individu dengan kehendak individualnya dapat menentukan arah sejarah. Individu hanya melakukan apa yang merupakan kepentingan kelas mereka masing-masing. Perjuangan akan sungguh-sungguh apabila bersifat subyektif, yaitu apabila kelas-kelas yang tertindas menyadari keadaan mereka, menentangnya dan berusaha untuk mematahkan dominasi kelas-kelas yang berkuasa.
Pertentangan antar kelas terjadi karena adanya pertentangan kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang ada. Satu jalan perjuangan kelas yaitu menghancurkan sistem yang menghasilkan kepentingan-kepentingan kelas atas. Tetapi, perubahan sistem itu dengan sendirinya pasti akan ditentang oleh kelas-kelas atas. Biasanya kelas atas mempertahankan sistem dengan cara memperalat kekuasaan negara. Kelas atas membenarkan kekuasaan negara secara moral dengan menyebarkan ideologi yang menunjukkan kesan bahwa negara dan tata-susunan masyarakat itu suci, tak terjamah dan perlu didukung demi kepentingan masyarakat.
Perubahan sejarah umat manusia dalam masyarakat hanya tercapai dengan jalan kekerasan yaitu melalui suatu revolusi. Karl Marx pada dasarnya menentang semua bentuk usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang bertentangan. Reformasi pada kelas atas dan usaha pendamaian antar kelas hanya akan menguntungkan kelas penindas. Karl Marx menekankan bahwa perjuangan kelas yaitu penghancuran penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Tidak mengherankan, dalam masyarakat kapitalis Karl Marx menekankan pentingnya revolusi proletariat. Revolusi proletariat yaitu usaha mencopot hak milik kaum kapitalis atas alat-alat produksi dan menyerahkannya kepada seluruh rakyat.
Karl Marx memahami manusia sebagai person yang tidak boleh diperalat atau memperalat diri karena manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Manusia adalah bebas dan universal. Manusia harus merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan tidak boleh diperbudak oleh pekerjaan.
Karl Marx berhasil menyuarakan suatu masalah yang dirasakan manusia-manusia modern yaitu keterasingannya dalam masyarakat tehnologi. Kelemahan Karl Marx bukannya karena ia memandang pekerjaan sebagai tindakan dasar manusia, melainkan karena ia menganggap sebagai satu-satunya. Karl Marx tidak melihat bahwa interaksi yaitu komunikasi antar manusia adalah tindakan yang penting juga (Jürgen Habermas). Habermas yakin bahwa keterasingan tidak akan hilang hanya karena perubahan sistem. Faktor komunikasi memainkan peranan penting untuk mengurangi keterasingan dengan jalam reformasi di dalam sistem.
Karl Marx berpandangan bahwa suatu pengurangan penindasan di dalam sistem yang ada (reformasi) tidaklah mungkin. Baginya, penindasan hanya dapat dipatahkan dengan sebuah revolusi. Kelemahan Karl Marx di sini yaitu bahwa buruh-buruh di beberapa negara kapitalis dapat memperjuangkan kemajuan mereka tanpa melalui suatu revolusi. Karl Marx tidak bisa melihat kemungkinan ini karena ia berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan kelas atas dan kelas yang tertindas tidak akan pernah dapat diperdamaikan. Kekeliruan mendasar Karl Marx yaitu bahwa borjuasi sebagai kelas atas tidak mau mencari damai. Pada kenyataannya kelas atas menyadari kerugian kalau ada revolusi. Oleh sebab itu mereka bersedia untuk mengurangi penghisapan, memperbaiki syarat-syarat kerja, membagi kekuasaan politik dengan kaum buruh dan bahkan memberi hak kepada kaum buruh untuk ikut menentukan kebijakan perusahaan.
Max Weber
        Max Weber lahir di Erfurt, jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setia aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan diri atau yang dapat menimbuklkan ancaman terhadap kedudukan dalam sistem. Lagipula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbegai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat. Ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggap pertanda bahwa ia tidak ditakdirkan akan mendapat keselamatan diakhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebapkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak  sangat besar terhadap  kondisi psikologis ataupun mental   Max  Weber.
Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu. Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Mariane Weber,1975;62) mula- mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihan, ketegangan yang dihasilkan kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan ini berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg,Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk Universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemelu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayaahnya dulu.secara sosial ia mulai berkembang, sebagai karena terbiasa minum bir dengan teman – temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahiaan yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu,dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan ayahnya tetai juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah tiga semester weber meninggalkan Heildelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke berlin, kerumah orangtuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph,d,menjadi pengacara dan mulai mengejar di Universitas Berlin, dalamproses itu minat belajarnya bergeser ekonomi, sejarah, dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiaanya selama sisia hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekat nilai – nilai ibunya dan anti pati terhadap ayahnya meningkat (asceptic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya di lukiskan sebagai berikut,”dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur kehidupannya berdasakkan pembagiaan jam – jam kegiatan ruti sehari – hari kepada bagian – bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri di kamarnya dengan 1 pot dagung sapi dan 4 buah telur goreng”(Mitzman, 1969/1971;48;mariane, Weber,1975;105 ), jadi, dengan mengikuti ibunya, weber mengalami hidup prihatin, raajin, bersemangat kerja tinggi – dalam istilsh dalam istilah modern disebut workaholic(gila kerja). Semangat kerja tinggi ini mengantarkan Weber menjadi Profesor ekonomi di universitas Heildelberg pada 1896. pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkarang sengit antar mereka. Tak lama kemudian Weber menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan saraf. Sering tidak bisa tidur atau bekerja, enam atau tujuh btahun berikutnya di lalaui dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagai kekuatan yang mulai pulih di tahun1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun, Weber mulai mampu aktif kembali dalam kehidupan akadenis. Tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu terbaiknya, the protestat Ethic and The Spirit of Capitalsm. Dalam karya ini weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.
Meski terus di anggap masalah oleh psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting, ia menerbitkan hasil studi tentang agama dunia dalam perspekti sejarah dunia (misalnya, cina india dan agama yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 juni 1920)ia menulis karya yang sangat penting, economy and Society. Meski buku ini di terbitkan, dan telah di terjemahkan dalam beberapa bahasa, namun buku ini belum selesai. Selain menulis berjilid – jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan kegiatan lain, ia membantu mendirikan German Sociological Sosiety di tahun 1910. rumahnya di jadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti George Simmel, Robert Michelis, dan saudara kandungnya, Alfred, mauopun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989;186-222).Weber pu aktif dalam aktifitas politik dan menulis tentang masalah politik di masa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, dalam pemikiran birokratis seperti yang tercermin oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar