Minggu, 04 Maret 2012

sosok dari serdadu

Realitas Kemiskinan, Menanti Solidaritas Seluruh Umat Beragama

               Seorang bocah menyenandungkan lagu “Hari Kiamat” itu di bawah jembatan perempatan Slipi, Jakarta Barat. Namanya Agus, bocah 7 tahun asal Gubeng, Surabaya itu sudah 2 tahun berkecimpung dalam “komunitas pengamen”. Agus terlahir di kolong jembatan tol Penjaringan, yang kini sudah bersih dari “manusia kolong jembatan”. Sang ayah tak pernah ia lihat sejak matanya mengenal dunia, sementara sang ibu berprofesi sebagai pemulung. Tinggal bersama ibu dan kakaknya di sebuah gubuk reot tak jauh dari stasiun kereta api Jatinegara, Jakarta, setiap hari Agus bisa menyetor Rp 7.000 kepada bundanya. Walau tak berniat sekolah lagi karena tak punya biaya, tapi Agus sudah dapat membaca dan menulis. Ditemui di sela-sela kegiatan ngamen, Agus berujar bahwa ia senang dengan hidupnya sekarang ini. “Senang, karena dapat duit, dan punya banyak teman,” tuturnya polos.
              Di perempatan-perempatan jalan Kota Jakarta, seperti perempatan Slipi, ada sekian banyak anak jalanan yang tiap hari bekerja keras untuk sesuap nasi keluarga mereka. Kebanyakan mereka mengamen, dengan modal sebuah ukulele dan ketipung. Anak sekecil Agus, sudah berjasa ikut menghidupkan sang ibu dan kakaknya. Ia tak punya rasa malu. Baginya, yang penting halal sebagaimana dipinta ibunya. Tapi, semakin hari Agus semakin bingung karena selalu dikejar-kejar oleh Tramtib Jakarta Barat. Pupuskah harapan Agus dan teman-teman “komunitas pengamen”? Di mata Agus dan teman-teman, aparat negara hanya berfungsi “membersihkan mereka” dari jalan-jalan Kota Jakarta. Kaum miskin yang bertebaran dalam rupa-rupa tampilan tak lain daripada wajah ketidakmanusiaan kita.
                 Proses pembangunan bangsa terus berlanjut. Tak sedikit kemajuan kita petik. Juga segudang kegagalan dan kemerosotan. Kemiskinan adalah salah satu indikator kegagalan itu. Koordinator UPC (Konsorsium Kemiskinan Kota) Wardah Hafidz mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah kaum miskin terus membengkak. Desa-desa yang dulu makmur gemah ripah loh jinawi, kini semakin banyak penduduknya tergolong kaum miskin miskin. Sejuta alasan membuat mereka miskin: tak punya lahan lagi untuk bersawah dan berkebun, bencana alam yang terus melabrak kehidupan mereka, sementara lahan kerja kian menyempit. Mereka pun menyerbu kota-kota besar, tanpa bekal ketrampilan, hanya dengan satu tujuan: demi sesuap nasi. Anak-anak terlantar dan miskin itu kemudian membentuk “komunitas” pengamen dan bertengger di perempatan jalan sambil mengulurkan tangan meminta sedekah.   
         Dengan sebiji ukulele dan suara parau mereka mencoba menghibur para sopir yang menanti lampu hijau. Tak jarang tak muncul lemparan recehan uang dari jendela sedan. Sopir dan penumpang menganggap itu sebuah pemandangan biasa, tak perlu melibatkan rasa kasihan dan setetes empati.
Yang jadi pemulung, berbekal otot dan tulang kaki yang kuat, menyusuri jalan-jalan utama ibu kota sambil mengais botol aqua, plastik, kertas koran, untuk dijual kepada penagih. Hanya dengan cara itu nyawa mereka tak cepat melayang ke alam baka. Sebagian berani menjajakan diri sebagai pelacur di lapak-lapak reot sepanjang rel kereta api. Sudahlah, inilah secuil realitas kaum miskin.
Menurut Wardah Hafidz, sebagian besar kaum miskin di Indonesia justru tak terdeteksi dengan angka pasti. Mereka tersembunyi dan jauh dari sorotan media dan masyarakat. Ironisnya, pada sisi lain, sebagian besar anggota masyarakat kita tengah mabuk harta dan berfoya-foya dalam gaya hidup hedonis dan materialistik. Para pejabat dan wakil rakyat tenggelam dalam hiruk-pikuk politik yang berujung duit. Tekad memperjuangkan wong cilik berakhir dalam wujud wacana tanpa realisasi. Janji pemerintah untuk memberantas korupsi berjalan tersendat karena banyak pejabat jadi “pemain” di dalamnya.
         Kasus demi kasus korupsi tak berakhir di penjara, karena sekian makelar kasus (markus) merajalela. Hukum menjadi arena mencari kekayaan, bukan keadilan; demikian penegak hukum menjadi penegak ketidakadilan dalam masyarakat. Semua sarana penegakan martabat manusia dibolak-balik dalam logika hewani: siapa yang kuat dialah yang menang. Kita kehilangan moral. Perilaku mencuri dianggap wajar. Berlaku tak adil terhadap sesama juga dianggap bagian dari gaya hidup masyarakat berbudaya Indonesia. Gotong royong sebagai kearifan bangsa, menjadi jalan masuk berakarnya korupsi di Indonesia. Akrobat politik dan ekonomi semakin menjauhkan sasarannya pada rakyat, termasuk rakyat kecil dan miskin.
          Seperti Benny Johanes, Wardah juga berpendapat, keterlibatan agama dalam penanggulangan kemiskinan patut didorong terus. Kalau saja umat beragama mau sungguh-sungguh terlibat memerangi kemiskinan, bukan tidak mungkin kita bisa keluar dari realitas kemiskinan. “Nilai-nilai agama seharusnya mendorong semua orang untuk peduli pada sesama. Agama harus memperlihatkan dampaknya pada kemanusiaan yang lebih luas, tidak terkurang sebagai persoalan individual penganutnya saja,” tambah Benny yang sehari-hari bekerja untuk kaum miskin di Ibu Kota Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar