Minggu, 04 Maret 2012

SOSIOLOGI

A.    Pendahuluan
Diskursus sosiologi sebagai ilmu dan paradigma sosiologi  dalam sudut pandang filsafat merupakan hal yang menarik untuk didalami. Sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat memiliki cakupan yang sangat luas, ia meliputi seluruh proses interaksi manusia secara subjektifitas dan intersubjektifitas. Karena itu, wajar jika Pitirim A.Sorokin (1947) menyebutnya superorganic karena sosiologi meliputi seluruh proses interaksi manusia dan hasil dari proses interaksi yang telah dilakukan manusia.
Demikian, kiranya cukup beralasan jika paper ini dibatasi pada pembahasan tentang Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi. Secara garis besar pembahasan ini mendeskripsikan beberapa pendapat mengenai sosiologi sebagai ilmu secara substantif dan juga mengenai tiga paradigma soiologi menurut George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2010).
Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk kembali merefleksi sosiologi secara historis dari zaman Yunani atau zaman Abdul Rahman Ibnu Khaldun, namun paper ini lebih memusatkan perhatian pada teori-teori sosiologi yang mengacu pada konsep-konsep yang dikembang Ritzer, yang ia sebut sebagai paradigma sosiologi. Paradigma sosiologi dimaksud adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Ketiga paradigram tersebut saling berkorelasi dengan grand theory sosiologi sebagai landasan sampai pada teori-teori sosiologi post-modern. Secara gamblang, Ritzer menjelaskan tiga paradigma tersebut dalam bukunya Sosiologi:Ilmu Berparadigma Ganda. Penjelasan mengenai paradigma ini juga dapat dijumpai pada Teori Sosiologi Modern (2010) yang ditulis George Ritzer dan Douglas J. Goodman.
Setelah melalui proses presentasi dan diskusi di dalam kelas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, paper ini mengalami penyempurnaan tentang landasan filosofis Ritzer menurut persfektif filsafat ilmu sebagai respon positif terhadap saran dan tanggapan Dr. Arlina serta masukan dari rekan-rekan satu kelas. Karena itu, paper ini menyajikan Jejak Filosofis Ritzer dalam merumuskan pardigma integratif sebagai paradigma baru yang bersifat terbuka. 
B.     Pembahasan
1.      Sosiologi sebagai Ilmu
Para ilmuwan telah jamak menganggap bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan (mater scientiarum). Pada mulanya, semua ilmu bermula dari filsafat. Demikian pula halnya dengan ilmu tentang masyarakat yang dikenal sebagai sosiologi. Setelah melalui perkembangan, seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, banyak ilmu memisahkan dari dari filsafat.
Astronomi (ilmu perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama-tama memisahkan diri dan selanjutnya mengalami perkembangan menuju tujuannya masing-masing. Ilmu kimia, biologi dan geologi kemudian juga memisahkan diri dari filsafat. Kemudian pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul, yaitu; psikologi dan sosiologi (ilmu yang memperlajari tentang masyarakat).
Soerjono Soekanto (1995;4) menjelaskan bahwa seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte (1798-1957) telah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum yang digunakan untuk mempelajari masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memiliki urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai tahapan ilmiah. Karena itu, setiap penelitian tentang masyarakat harus ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Comte menggunakan istilah sosiologi yang berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Disini, Comte menekankan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan kemasyarakat umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lainnya.
Sementara itu, George Ritzer & Douglas J. Goodman (2010:5) mengingatkan kembali bahwa sebenarnya sosiologi telah berkembang sejak zaman Yunani. Dan, salah satu hal penting yang patut dicatat adalah bahwa nama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 juga diakui Ritzer sebagai seorang sosiolog, selain pelopor sosiologi seperti; Karl Marx (Jerman), Max Weber  (Jerman), Emile Durkheim dan Goorg Simmel. Ritzer memandang bahwa pandangan Ibnu Khaldun tentang masyarakat mirip dengan sosiologi zaman sekarang.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat dideskripsikan bahwa filsafat dan sosiologi memiliki kedekatan yang erat sebagai ilmu pengatahuan. Jika dikaitkan dengan pandangan Comte yang menegaskan tentang pentingnya tahapan ilmiah dalam melakukan studi tentang masyarakat maka sosiologi secara konsisten juga sekaligus menjadikan filsafat sebagai sebuah pendekatan ilmiah yang menyaratkan metode berfikir ilmiah sebagai landasan penting dalam penelitian dan pendekatan-pendekatan mengenai masyarakat. Artinya, pendalaman tentang sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat sangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Suryo Ediyono dalam Buku Ajar Filsafat Ilmu (2010: 3) bahwa filsafat sebagai cara berfikir refleksi (mendalam),penyelidikan menggunakan alasan, serta berfikir secara hati-hati.
Pitirin A.Sorokin dalam Society, Culture, and Personality (1947:3-7) memiliki pandangan tersendiri mengenai studi tentang masyarakat. Disini Sorokin menggunakan istilah superorganic. Istilah superorganic yang dimaksud adalah sosiologi. Dia berangkat dari penjelasannya bahwa superorganic sejajar dengan seluruh karsa dan rasa dengan manifestasi-manifestasi yang dikembangkan dengan jelas. Dalam hal ini penomena superorganic meliputi bahasa, ilmu pengetahuan dan filsafat, agama, seni rupa, arsitektur, musik sastra, drama, hukum dan etika, moral dan perilaku, pengembangan teknologi, domestikasi, bahkan pelatihan binatang dan sebagainya. Superorganic ditemukan dengan jelas pada interaksi manusia dan produk-produk dari interaksi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sosilogi adalah ilmu tentang masyarakat yang meliputi seluruh interaksi yang terjadi serta produk yang tercipta sebagai hasil dari keseluruhan proses interaksi yang terjadi.

2.      Paradigma Sosiologi
Menurut Ritzer dan Goodman (2010), ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi yang berpotensi untuk mencapai status paradigma. Ketiga paradigma itu adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

2.1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial menggunakan model karya Emile Durkheim terutama dalam karya Durkheim mengenani The Rules of Sociological Method  dan Suicide. Menurut Durkheim, fakta sosial atau struktur dan institusi sosial memiliki skala yang luas meliputi tidak hanya pada penomena fakta sosial semata tapi juga memusatkan perhatian pada pikiran dan tindakan individu.
Dalam hal ini, teori struktural fungsional dipandang memiliki peran yang signifikan karena cenderung berkarakter stabil sehingga lebih mengacu pada konsesus umum. Sedangkan teori konflik lebih menekankan pada instabilitas (kekacauan) antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui aturan dan hukum yang memaksa masyarakat. Teori lain yang termasuk mendukung paradigma ini adalah teori sistem.
2.2. Paradigma Definisi Sosial
Model yang dominan dalam paradigma fakta sosial adalah teori social action karya Max Weber. Karya ini membantu mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka. Ia juga membantu dalam mempelajari pengaruh definisi sosial terhadap tindakan sosial dan interaksi yang terjadi selanjutnya.
Metode yang cenderung digunakan  oleh mereka yang menganut paradigma ini adalah metode observasi ketimbang metode lainnya. Meski demikian metode interview-kuesioner juga menjadi bagian integral dari paradigma ini.
Ada beberapa teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, seperti teori tindakan, interaksionisme simbolik,fenomenologi,etnometologi, dan eksistensialisme.
2.3. Paradigma Perilaku Sosial
Model dasar yang digunakan paradigma perilaku sosial adalah karya psikolog B.F. Skinner. Karena menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tidak dipikirkan. Paradigma ini mengacu pada pemberian reward dan punishment.
Teori yang relevan dengan paradigma ini adalah teori behaviorisme sosial dan teori pertukaran. Kedua teori ini mendonominasi para penganut paradigma perilaku sosial. Dengan demikian, metode yang sesuai adalah metode eksperimen.
2.4. Menuju Paradigma Integratif
Berdasar pada ketiga paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, Ritzer mengajukan gagasan tentang paradigma sosial integratif. Menurutnya, model paradigma ini mampu menjelaskan kesatuan realitas makro objektif, seperti birokrasi, realitas makro subjektif seperti nilai, fenomena mikro objektif seperti polainteraksi, dan fakta mikro objektif seperti proses konstruksi realitas. Dalam hal ini, Ritzer mekankan perlunya penerapan ketiga paradigma sosiologi sebagai paradigma integratif yang saling berkorelasi satu dengan lainnya. Meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai jalan keluar atas “kekacauan” kebuntuan teori-teori sosial nama tetap membuka ruang terhadap lahirnya paradigma-paradigma baru.
Dalam pandangan Ritzer, kini sosiologi berada pada tahap krisis karena terjadinya chaos teori-teori sosiologi modern, bahkan post modern. Meski demikian, tidak pupus harapan bahwa meskipun teori-teori sosiologi kini sedang berada pada situasi chaos namun, tetap saja ada peluang untuk lahirnya ide-ide baru yang akan melahirkan teori-teori yang berkontribusi penting pada sosiologi.
2.5.  Dari Heraklitus hingga Ritzer: Menyusuri Jejak Paradigma Integratif Ritzer
                 Telah disampaikan sebelumnya bahwa meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai paradigma baru yang dipandang mampu menjadi paradigma yang lebih komprehensif dalam membahas masalah sosial, namun Ritzer tetap membuka ruang bagi lahirnya paradigma baru, karena ia memandang paradigma sosiologi saat ini berada pada masa chaos.
                 Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa Ritzer menjadikan pemikiran Thomas Khun (1922-1996) sebagai landasan paradigma sosial yang ia bangun. Menurut Khun (Yuana, 2010:373) bahwa terjadi revolusi intelektual yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat konservatif. Periode “normal” ditandani dengan tingkat independensi dan objektifitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah diharapkan. Selama periode “normal” ini, jika terjadi anomali hasil penelitian atau hasil di luar dari yang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap tidak relevan atau sebagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
                 Menurut Khun, incommensurability (ketidakproporsionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke arah kebenaran hakiki. Kejadian penolakan paradigma lama, menurut Khun, untuk menerima hal yang baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Karena itu, Khun berpendapat bahwa pandangan ilmuwan terhadap dunia mengalami perubahan yang ekstrim dengan munculnya paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif dengan paradigma lama. Khun mencontohkan bahwa Copernicus mengemukakan pandangannya tentang astronomi, yaitu zaman dimana bumi mengelilingi matahari yang dikenal dengan teori heliosentris. Sejak itu, pandangan tentang semesta benar-benar mengalami perubahan karena paradigma lama yang memandang matahari yang mengelilingi bumi tergantikan dengan paradigma baru yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Selanjutnya paradigma heliosentris mendapat dukungan kuat dari 



 Landasan Sosial-Budaya Pengembangan Kurikulum
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat ma ...
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun kelingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarkat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk ...

Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat ma ...
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum. Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologis yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan ”karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu: Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi. Bawaan; yaitu karakteristik fisisk yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi. Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang. Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar